Sabtu, 31 Desember 2016

Buram dan Suram

Buram. Semuanya seakan menjadi serba abu-abu.
Tak hitam, tak pula putih.
Suram. Semuanya berada dalam kegelapan.
Tak ada sedikit pun penerangan.

Aku tak boleh menunggu, tapi tak mungkin pula melupakan.
Bagaimana bisa? Itu tak mungkin.
Aku juga tak boleh sedikitpun berharap.
Tapi, batinku berteriak tak mau kompak.

Semua butuh proses.
Berhenti menyangkut pautkan apa yang aku lihat/ dengar dengan dirimu mungkin salah satunya.
Tapi nyatanya? Tak bisa. Tepatnya belum bisa.
Buktinya, saat melihat judul buku "Senja, Hujan dan Cerita yang Telah Usai"
Otakku langsung memutar bayangan tentang kamu.
Bukankah kau sedang menanti senja?
Bukankah aku mencintai hujan?
Apakah semua cerita ini telah usai?
Sudahlah, Khayrunnisa. Ini berlebihan.
Semua ini belum dimulai, mana mungkin usai, kan? :)
(Tak usah memaksakan, semua telah usai. Berhentilah bermimpi.)

Apakah aku terlalu menunjukkan kegalauan ini? *alay. Tapi nyata.
Hingga ibu beberapa kali menanyakan pertanyaan yang tak mungkin kujawab dengan jujur.
Pertanyaan-pertanyaan yang sukses membuatku gelagapan.
"Neng kenapa sih? Asa diem wae." "Neng, keluar kamar atuh. Ada apa?"
"Kamu mah galau ya ga dikasih uang jajan. Beli buku atuh sok. Hehe"
Stop bu. Aku tak ingin menjawab pertanyaan atau sekedar menggubris candamu.
Dan yang lebih menyakitkan, ketika ibu membuatkanku coklat panas yang biasanya tak mungkin aku tolak. Harusnya sih, aku biasa saja. Tapi tetap, ada yang tak biasa.
Kata ibu, minum itu biar rileks.
Bukannya buatku rileks, itu malah membuatku, ahhh sudahlah.

Kegalauan ini juga tak semua tentang kamu.
Ada pula yang lebih buram dan suram
Tentang si peneror yang tak percaya kalau aku kini telah 'jauh' denganmu.
Yang tetap mengirim kata-kata kasar tak lupa caciannya pula.
Percayalah mbak/mas, kini aku telah benar-benar lelah.
Kini aku telah benar-benar rapuh.
Kini aku tak berkawan, aku tak bisa bercerita dengan siapa-siapa.
Kini aku berada dijurang kesedihan.
Tak inginkah sehari saja kau berhenti melakukan itu?
Dan datang lagi nanti jika aku kembali kuat? :)

Tentang liburan yang rasanya hampa.
Yang ku isi dengan kegiatan 'anak rumah tangga'
Kegiatan masak-memasak yang biasanya membuatku begitu bersemangat.
Kini tidak. Aku memang sedang lelah-lelahnya.
Rencana-rencana yang akan kulakukan dengan teman-teman yang terbengkalai.

Tentang sakit-sakit yang akhir-akhir ini sering ku derita.
Mulai dari maag yang memang menjadi penyakit langgananku,
Pilek yang biasanya hanya muncul saat alergi dingin, tapi kini menetap bahkan saat udara begitu panas. Atau batuk yang tak henti dimalam hari, dan membuatku terjaga.
Hingga sakit kepala yang begitu menyakitkan hingga membuatku tak mampu menyembunyikannya dari ibu.
Do'akan saja, semoga menjadi penggugur dosa. :)




YaAllah, ampuni hambamu yang penuh keluh ini,
Semoga keburaman dan kesuraman ini tak lama lagi kan pergi,
Khayrunnisa
31-12-2016

Kamis, 29 Desember 2016

Yang Manis (tak) Selalu Berakhir Tragis

Apakah yang manis selalu berakhir tragis?
Pertanyaan itu yang muncul saat selesai membaca tulisanmu.
Sepertinya itu cerita yang indah, ya.
Sayangnya aku mungkin tidak terlibat dalam cerita itu.
Jelas-jelas aku bukanlah siapa-siapamu.
Tapiii.. Mengapa bait terakhir pada puisimu itu begitu menyakitkan?
Engkau memilih merelakan ia mencari 'yang lain'?
Padahal, wanita bukanlah tipe yang seperti itu. Ia pasti kan menunggu.
Ah tragis memang. Sepertinya kau dan gadis itu saling menyukai kan?
Tapi, mengapa? Aku masih berpikir tentang kalimat terakhir yang mungkin sengaja tidak kau selesaikan.
Sudahlah. Harusnya aku tak terlalu memikirkan tulisan seseorang yang sama sekali tidak peduli padaku.

Tapi, kalimat itu seperti terus mengikutiku.
Yang manis, selalu berakhir tragis.
Apakah aku juga sedang mengalami hal itu?
Ketika aku sedang berbahagia dengan kehidupan sehari-hariku.
Tiba-tiba datang seseorang yang sama sekali tak ku kenal.
Yang membuatku takut bila berhadapan dengan malam.
Karena tak lama setiap aku selesai menunaikan shalat isya, ia pasti datang.
Datang dengan ribuan caci yang menyakitkan.
Mengirim  pesan yang hanya berisi kata-kata kasar.
Tragis. Tiap malam aku mendapat hina tapi tak pernah mampu tuk sekedar membalas pesannya.
Hingga puncak amarah itu datang malam ini.
Aku tak ingin membalasnya dengan pesan juga,karena jelas itu pengecut.
Aku meminjam telepon genggam ayahku, dan aku hubungi kamu.
Tapi tak ada jawaban, Kau takut?

Selalu.
Yang manis, selalu berakhir tragis.
Ketika aku sedang berharap, ternyata aku dikecewakan dengan harapan yang kugantungkan sendiri.
Jelas, pasti itu karena ulahku. Yang berharap kepada selain-Nya.
Ketika aku bahagia, ada seseorang yang mau dengarkan keluh kesahku, tak bosan dengarkan cerita sehari-hariku, atau sekedar dengarkan kejadian yang baru saja aku alami. Dan kau respon dengan jawaban-jawaban yang menurutku menyebalkan. Kini? Kemana? Bahkan saat seperti sekarang? Ketika aku sedang rapuh-rapuhnya. Hingga aku takut tuk meminta nasihat di grup yang salah satu membernya adalah kamu. Jujur, aku takut. Aku takut kau berpikir aku sedang mencari-cari perhatianmu.
Tidak. Sama sekali tidak. Saat ini memang aku sedang butuh banyak teman.
Sudahlah sudahlah. Lupakan. Aku yakin, aku kuat sendirian, atas kekuasaan-Nya.
Jadikan sabar dan shalat sebagai penolongmu [1]
Itu yang harus ku ingat.

Aku teringat kejadian manis lainnya.
Saat aku mengenalnya sejak sekolah dasar.
Lalu dekat hingga akhir SMP.
Ia yang selalu ada, selalu menjadi pendengar yang baik, dan menjadi penasihat setia.
Manis kan? Tapi tetap tragis.
Ia lebih dulu menghadap-Nya, bahkan saat usianya sangat muda. Memang takdir.

Yang manis tak selalu berakhir tragis
Karena itu bukanlah akhir. Setelah peristiwa tragis itu, muncul pula kejadian-kejadian yang jauh lebih manis lainnya.
Semoga, tragis-tragis lainnya dalam hidupku, akan berbuah manis.
Semoga begitu pula dengan kisah kita. Eh, kisahmu maksudnya.

[1] Al-Baqarah/2 : 45


Yang merindukan masa-masa manis dalam kehidupannya,
Khayrunnisa
29-12-2016

Selasa, 27 Desember 2016

Menata Rindu

Rindu itu... menyiksa.
Ia hadir tuk menambah lara.
Kadang juga datang tuk mengungkap luka lama,
Membuat hati semakin tak jelas arahnya.
Apa yang harus aku lakukan dengan ini rasa?
Akankah ada kabar baik untukku? Apa?
Apakah kabar baik adalah ketika dia berkata juga memupuk rindu? Tentu tidak.
Itu hanya akan membuatku semakin bertanya-tanya.
Membuatku semakin larut dalam teka-teki rasa.
Bagaimana aku harus menatanya?
Haruskah aku menata rindu? Untuk apa?

Aahh rindu selalu saja menyisakan banyak tanya.

Aku tahu ini takkan selamanya.
Aku yakin, nanti perasaan ini akan tahu kemana akan bermuara.
Tapi, bagaimanakah caranya?
Jika hari-hariku selalu tentang dia, dia, dan dia.
Rindu telah menjadi makanan pokok rasanya.
Yang terkadang, aku merasa bosan.

Sepertinya rindu senang bersemayam dihatiku.
Sehingga ia tak ingin beranjak dari sini.
Selalu temaniku tiap hari.
Atau, aku yang senang memelihara rasa rindu?
Yang memupuk rasanya hingga subur?
Hingga menjalar keseluruh tubuh?
Dan akhirnya menjadi kebiasaan yang tak dapat dihilangkan.
Ah, semoga saja tidak.
Jadi, aku tetap harus menata rindu?

Rindu benar-benar membuat merana si penderita.
Ingin menangis rasanya, tapi untuk apa?
Bukankah saat
Lebih parah, jika mengingatkan kita pada si dia yang kini entah dimana.
Yang tak jelas pula, dia itu 'siapanya kita?'
Aku harus menata rindu.

Mungkin setelah menata rindu, aku kan merasakan
Rindu yang tak selamanya menyisakan pilu.
Rindu yang tak juga selalu membuat sendu.

Mengapa rindu menyiksa?
Karena kita tak pandai mengambil hikmah.
Rindu kadang membuat hari-hari menjadi lebih berisi
Saat kita mencari kesibukan untuk menghapus rindu misalnya.
Bayangkan betapa prodktifnya kita jika rindu hinggap tiap hari?
Atau kadang rindu membuat kita andal membuat puisi tuk curahkan isi hati.
Berapa banyak puisi yang bisa dihasilkan jika rindu tak segan datang?

Ayo, wahai diri!
Jadikan rindu menjadi media berkreasi!


Apa kau juga rindu?
Jang beloem bisa menata rinduoe,
Khayrunnisa
27 Desember 2016

*Bukan curhatan

Minggu, 25 Desember 2016

Ternyata Bukan Aku Korbannya

Takkan ada yang menyangka siapa yang melakukannya
Atau mencoba menerka siapa yang menjadi dalangnya
Karena jelas, teman-temanku selalu  berbuat baik
Tak mungkin melakukan hal konyol seperti ini.

Kamu tahu?
Perkataan kasar yang setiap kali kau kirimkan itu
Pada awalnya, memang membuatku sakit hati
Dan lagi, aku tak tahu apa maksudmu.
Menjauhi? Siapa? Jelas-jelas dia bukanlah siapa-siapa untukku.
Teman biasa, dekat sebatas sahabat.
Kalaupun kita memang ada apa-apa,
Kau tak berhak melarangku kan?
Memangnya siapa kamu?

Tapi akhirnya, setelah sekian lama aku memendamnya,
Aku mulai mengambil tindakan.
Bagaimana kau tahu, aku juga manusia biasa.
Hati ini makin teriris rasanya.
Kamu punya hak apa atasku hingga kau memakiku seperti itu?

Aku memutuskan tuk mengikuti maumu.
Menjauhinya. Tanpa punya alasan yang jelas.
Tapi itu tak sepenuhnya dapat aku lakukan.
Salahnya apa? Sehingga harus menjadi korban dari semua ini.

Diawal aku merasa bahwa akulah korbannya.
Yang tak tahu apa-apa, lalu dikasari begitu saja.
Yang lebih menyakitkan, aku tak tahu siapa kamu

Ternyata aku salah, bahwa sebenarnya dialah korbannya.
Yang tiba-tiba aku jauhi tanpa sebab,
Yang menjadi korban amarahku.
Yang kebingungan karena aku tak mau bercerita.
Jika kau membaca ini, maafkan aku...

Jika suatu saat nanti aku mengetahui siapa dirimu
Sungguh, aku tak akan membenci
Tak akan pula aku balas kata-kata kasarmu dengan caci.
Terima kasih untuk semuanya.
Bisa jadi ini adalah ujian Allah untuk menguatkan hatiku yang mudah rapuh.
Toh Allah kan takkan memberikan ujian diluar batas kemampuan hambanya.
Atau teguran yang Allah sampaikan untukku agar lebih berlemah lembut kepada lainnya.


Aku, bukanlah korbannya.
Khayrunnisa
25 Januari 2016

Rabu, 14 Desember 2016

IV. Saggezza II : "Cinta Yang Belum Terucapkan."

"Cinta Yang Belum Terucapkan."
Mencintai seseorang itu wajar kan? Saat ini aku sedang merasakannya. Ya, aku jatuh cinta pada seorang wanita.

Kepada wanita yang rela melakukan segalanya untuk kita, rela menahan lapar, rela terbangun malam, hingga nyawa pun rela Ia berikan. Bagaimana tidak? Bukankah saat Ia melahirkan kita, nyawa adalah taruhannya?

Entah harus bagaimana aku mendeskripsikan sosok seorang Ibu. Yah, memang untuk sosok istimewa memerlukan kreasi dari seorang penulis yang istimewa pula. Bukan seperti penulis pemula seperti diriku ini.

Tapi... Ngakunya sih, aku cinta.
Namun, jujur saja, aku malu untuk mengungkapkannya.
Jangankan mengungkap cinta, menanyakan kabarnya saja, suatu fenomena langka.
Memeluknya, untuk melepas rindu itu menjadi hal yang asing bagiku.
Meminta maaf pun, menunggu lebaran tiba.

Jika ditanya "Gimana tadi disekolah?"
Aku hanya menjawab "Ya gitu aja."
Lalu masuk kamar dan meninggalkannya yang dari tadi menanti kepulanganku.
Padahal mungkin Ibu ingin mendengar curhatan dari putri kecilnya ini.

Aku bersalah, tidak seharusnya rasa cintaku padanya tak terucap hanya karena terhalang gengsi.
Kan, aku tahu ridhonya mengundang ridho Allah dan murkanya mengundang murka Allah pula..
Tapi mengapa aku masih begini?
Bukankah setiap pertemuan pasti akan menemukan perpisahan pada akhirnya? Pun pertemuan dengan orang tercinta, yaitu Ibu.
Akhirnya takkan mundur walau sedetik dan takkan maju walau sedetik.
Dan hingga saat itu datang, aku takut yang tersisa hanyalah penyesalan.
Tentang rasa cinta untuk mereka yang juga masih malu tuk diucapkan.
Tentang rindu kebersamaan yang terlambat teruntai.

Ungkapkan cintamu pada Ibu, sobat.

#WOAH (Wonderful of Al Hikmah)
#SaggezzaReturn

Yang katanya cinta Ibu,
Khayrunnisa
17 April 2016
17.20